“Kenapa?
Kok ketawa…?”, tanya saya.
“Nggak
apa-apa, pak…”, jawab si petugas pom bensin.
***
Para
pelaku bisnis di pom bensin, khususnya para pembeli bensin, mungkin punya
banyak cerita seputar aktifitas yang pernah mereka lakukan di sana.
Belum lama
ini malah, lantaran bermula dari peristiwa di pom bensin jua-lah seorang warga
negara bisa terkena kasus pidana, akibat tidak bisanya menjaga (tu)lisan di
sosmed.
Tapi
tenang saja….
Penggalan
percakapan di atas tadi gak ada unsur-unsur ke arah pertikaian kok…
Itu
terjadi pada dua hari Sabtu lalu ketika saya mau mengisi bensin.
Saat itu,
setelah saya memberi instruksi minta di-isikan Pertamax, saya melihat secara
sekilas si petugas tertawa kecil dengan temannya yang berada di jalur pengisian
sebelah.
“Kenapa? Kok ketawa…?”, tanya saya.
Menyelidik.
“Nggak
apa-apa, pak…. Kok kebalik…. Yang itu malah minta di-isikan Premium…”, sambil
mengarahkan muka ke sebuah mobil di jalur sebelah. Sebuah mobil anyar, yang
harganya ber-lipat-lipat kali dari nilai maharnya Marzo.
“Ooo…. ”,
saya jadi maklum.
“Saya
sayang sama mesin mobil saya…”, saya berikan komentar pendek.
Yups.
Sudah hampir setahun belakangan ini, saya memberi Marzo dengan bensin oktan 92.
Di-isikan
‘Pertamax’ di pom bensin Pertamina, kalo kebetulan baru keluar rumah.
Di-isikan
‘Super’ di pom bensin Shell, kalo kebetulan pengen ngisi angin ban
gratisan. Hehe..
Atau,
‘Performace’ di pom bensin Total di dekat rumah, kalo kebetulan bensin lagi
tiris dalam perjalanan pulang menuju rumah. (Untuk keadaan darurat saja. Karena harga di Total selalu
lebih mahal sekitar 500 sampai 900 rupiah dari harga Pertamax dan Super-nya Shell).
Patuh
dengan himbauan pemerintah yang bilang Premium hanya untuk golongan tidak
mampu?
Ah, nggak
juga. Jargon tersebut kurang pas, menurut saya. Definisi ukuran 'mampu' itu kan
relatif.
Kebiasaan
“ber-oktan 92 ria” ini mulai terjadi sejak kasus boros minum-nya Marzo sekitar
pertengahan tahun lalu.
Hasil
diskusi dengan pak Asep yang membantu saya mencari solusi pada waktu itu, kemungkinan
karena EF terlalu dini berputar ketika masih di suhu bawah, sehingga mesin
selalu over cooling.
Lalu soal faktor bensin yang terbakar sebelum waktunya juga salah satu topik
yang kami bincangkan waktu itu.
Masalah EF
beres dengan mengganti Thermoswitch di EF dan sensor suhu di mesin.
Soal
bensin, setelah cari-cari tahu, akhirnya saya putuskan untuk “naik kelas”, mencoba
memakai bensin ber-oktan 92.
Saya jadi ingat juga, pak Bambang, pemilik sebelumnya, pernah berkata kalau Marzo selalu diisi Pertamax.
Saya jadi ingat juga, pak Bambang, pemilik sebelumnya, pernah berkata kalau Marzo selalu diisi Pertamax.
Awalnya,
untuk beberapa lama, masih oplosan dengan Premium.
Baru pas
persis sejak Oktober tahun lalu, saya isikan bensin oktan 92 secara kontinu.
Setelah
naik kelas oktan, pemakaian bensin masih boros gak?
Masih
belum memuaskan, jujur saja. Tapi saya masih bisa men-tolerir, karena masih ada
faktor penyebab lain yang belum dibereskan, misalnya kaki-kaki.
Feeling
saya, sepertinya pemakaian bensin Marzo bisa optimum dan lebih irit kalo memakai
campuran Pertamax dengan Premium. Namun untuk mendapat rasio perbandingannya yang pas akan butuh waktu untuk 'try & error' lagi. Sayangnya, saya belum ada 'mood' untuk hal ini dan untuk saat ini.
Sebagai
penutup, ada alasan lain yang bikin saya agak segan memakai Premium ke depannya nanti. Yaitu, saya malas
mengurus dan mendaftar RFID… hehe….
////
No comments:
Post a Comment