Saya
mencoba mengingat.
Di
satu malam, awal Maret 2012.
Dengan
agak tersendat, saya melaporkan sebuah berita ke ayah saya, atau biasa
sehari-hari saya panggil dengan kata ‘bapak’.
“Pak.
Saya beli mobil.”
“Alhamdulillah….”.
Walau
saya tidak melihat langsung wajah beliau karena rasa sungkan, saya tetap bisa
menangkap rasa haru syukur dari nada suaranya.
Sebelum-sebelumnya,
bapak memang beberapa kali membicarakan perihal kendaraan roda empat. Tujuannya
sih jelas, beliau pengen saya sudah memikirkan kebutuhan soal itu.
Dari
semula cuek, lama-lama saya memikirkannya juga.
Setelah
menimbang-nimbang dan memikirkan sekian banyak manfaatnya, kemudian saya
memutuskan mencari, dan pada akhirnya pilihan jatuh pada Marzo.
“Apa,
lik?”
“Fiat,
pak. Fiat Uno.”
Lalu,
beberapa nasehat keluar dari mulut beliau.
“Dulu yang
bapak punya, Fiat 125, ya?”, beliau mengingat-ingat.
“Bukan,
pak. Punya bapak dulu, 124”.
Ketika saya
memilih Fiat, salah satu pertimbangannya karena ada unsur kenangannya.
Pengen
ikut-ikut bapak, memiliki Fiat sebagai mobil pertama.
Bahkan
ketika proses balik nama surat-surat kendaraan, sempat saya upayakan untuk
mengganti nomor polisinya dengan memakai nopol Fiat 124 hijau kami dulu,
B2603MM. Tapi, upaya ini tidak berjalan sesuai keinginan.
***
Saya
masih teringat.
Satu
sore, pada masa-masa awal baru mempunyai, power window Marzo bermasalah. Pas dompet lagi tipis-tipisnya.
Ketika
saya sedang membongkarnya sendirian, dengan jalan yang tertatih pelan-pelan
dengan bantuan tongkat, bapak mendekat. Duduk di bangku teras, mengamati kegiatan saya.
Dengan
singkat saya jelaskan, apa permasalahannya.
Saya
pikir, bapak bisa menangkap ketidakberdayaan saya waktu itu.
Sampai
akhirnya saya menyerah, dan kemudian meminjam sejumlah uang kepada beliau untuk
biaya perbaikan di bengkel.
Berbulan-bulan
kemudian, saya menghadap bapak, menyampaikan ke-belum bisa-an saya mengembalikan dana yang dulu pernah saya
pinjam.
Bagi
yang sudah mengenal betul siapa dan bagaimana baiknya bapak saya, ‘ending
story’ bagian ini sebenarnya bisa dikira-kira. Bahkan bisa ditebak jauh sejak
awal cerita.
Maka,
tidak perlu-lah saya ceritakan secara detail bagaimana tanggapan bapak, selain
rasa haru saya yang timbul pada saat itu.
Pada setiap kegiatan ngoprek yang saya lakukan berikutnya, saya selalu merasa bapak
mengawasi, sekalipun dari jauh.
Bapak
memang selalu ada dan siap untuk membantu anak-anaknya.
Fitrah-nya
orang tua memang begitu. Di manapun. Kapan pun.
***
Saya
juga masih teringat.
Jum’at, 14 Maret 2014, bapak jatuh sakit.
Setelah
sempat di-opname, beliau diharuskan tetap kontrol jalan ke rumah sakit.
Sepanjang
ingatan saya, pada setiap jatuh jadwalnya, alhamdulillah, Marzo selalu tetap bisa diandalkan, mengantarkan kami pergi ke rumah sakit, dan membawa
pulang kembali ke rumah.
Rutinitas
kontrol ini berjalan selama beberapa bulan.
Dari
seminggu sekali, lalu dua minggu sekali, kemudian sebulan sekali. Sampai
kemudian, bapak berobat herbal saja di rumah.
Jum’at, 24 Oktober 2014, adalah hari terakhir bapak kontrol ke rumah sakit
dengan mengendarai Marzo.
***
Saya
akan selalu mengingat.
Jum’at lalu, 21 Agustus 2015, rencananya Marzo akan kembali menjalankan tugasnya, mengantar pergi-pulang
pemilik sejatinya. Saya? Bukan.
Karena,
“harta anak adalah harta orang tuanya juga”, maka bapak-lah si pemilik sejati
Marzo.
Qodarullah.
Beberapa
jam sebelum itu, Jum’at jam tiga dini hari, Allah azza wa jalla, pemilik sejati
seluruh alam semesta beserta isinya, lebih dulu memanggil pulang bapak.
Allahummaghfir
lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu.