Tuesday, August 25, 2015

Pemilik Sejati

Saya mencoba mengingat.

Di satu malam, awal Maret 2012.
Dengan agak tersendat, saya melaporkan sebuah berita ke ayah saya, atau biasa sehari-hari saya panggil dengan kata ‘bapak’.

“Pak. Saya beli mobil.”
Alhamdulillah….”. 
Walau saya tidak melihat langsung wajah beliau karena rasa sungkan, saya tetap bisa menangkap rasa haru syukur dari nada suaranya.

Sebelum-sebelumnya, bapak memang beberapa kali membicarakan perihal kendaraan roda empat. Tujuannya sih jelas, beliau pengen saya sudah memikirkan kebutuhan soal itu.
Dari semula cuek, lama-lama saya memikirkannya juga.
Setelah menimbang-nimbang dan memikirkan sekian banyak manfaatnya, kemudian saya memutuskan mencari, dan pada akhirnya pilihan jatuh pada Marzo.

“Apa, lik?”
“Fiat, pak. Fiat Uno.” 
Lalu, beberapa nasehat keluar dari mulut beliau.

“Dulu yang bapak punya, Fiat 125, ya?”, beliau mengingat-ingat.
“Bukan, pak. Punya bapak dulu, 124”.

Ketika saya memilih Fiat, salah satu pertimbangannya karena ada unsur kenangannya.
Pengen ikut-ikut bapak, memiliki Fiat sebagai mobil pertama.
Bahkan ketika proses balik nama surat-surat kendaraan, sempat saya upayakan untuk mengganti nomor polisinya dengan memakai nopol Fiat 124 hijau kami dulu, B2603MM. Tapi, upaya ini tidak berjalan sesuai keinginan.


***
Saya masih teringat.

Satu sore, pada masa-masa awal baru mempunyai, power window Marzo bermasalah. Pas dompet lagi tipis-tipisnya.
Ketika saya sedang membongkarnya sendirian, dengan jalan yang tertatih pelan-pelan dengan bantuan tongkat, bapak mendekat. Duduk di bangku teras, mengamati kegiatan saya.
Dengan singkat saya jelaskan, apa permasalahannya.
Saya pikir, bapak bisa menangkap ketidakberdayaan saya waktu itu.
Sampai akhirnya saya menyerah, dan kemudian meminjam sejumlah uang kepada beliau untuk biaya perbaikan di bengkel.

Berbulan-bulan kemudian, saya menghadap bapak, menyampaikan ke-belum bisa-an saya  mengembalikan dana yang dulu pernah saya pinjam.
Bagi yang sudah mengenal betul siapa dan bagaimana baiknya bapak saya, ‘ending story’ bagian ini sebenarnya bisa dikira-kira. Bahkan bisa ditebak jauh sejak awal cerita.

Maka, tidak perlu-lah saya ceritakan secara detail bagaimana tanggapan bapak, selain rasa haru saya yang timbul pada saat itu.

Pada setiap kegiatan ngoprek yang saya lakukan berikutnya, saya selalu merasa bapak mengawasi, sekalipun dari jauh.

Bapak memang selalu ada dan siap untuk membantu anak-anaknya.
Fitrah-nya orang tua memang begitu. Di manapun. Kapan pun.


***
Saya juga masih teringat.

Jum’at, 14 Maret 2014, bapak jatuh sakit.
Setelah sempat di-opname, beliau diharuskan tetap kontrol jalan ke rumah sakit.

Sepanjang ingatan saya, pada setiap jatuh jadwalnya, alhamdulillah, Marzo selalu tetap bisa diandalkan, mengantarkan kami pergi ke rumah sakit, dan membawa pulang kembali ke rumah.

Rutinitas kontrol ini berjalan selama beberapa bulan.
Dari seminggu sekali, lalu dua minggu sekali, kemudian sebulan sekali. Sampai kemudian, bapak berobat herbal saja di rumah.

Jum’at, 24 Oktober 2014, adalah hari terakhir bapak kontrol ke rumah sakit dengan mengendarai Marzo.


***
Saya akan selalu mengingat.

Jum’at lalu, 21 Agustus 2015, rencananya Marzo akan kembali menjalankan tugasnya, mengantar pergi-pulang pemilik sejatinya. Saya? Bukan.

Karena, “harta anak adalah harta orang tuanya juga”, maka bapak-lah si pemilik sejati Marzo.

Qodarullah.
Beberapa jam sebelum itu, Jum’at jam tiga dini hari, Allah azza wa jalla, pemilik sejati seluruh alam semesta beserta isinya, lebih dulu memanggil pulang bapak.

Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu.


////

Monday, August 10, 2015

Seputar Kegiatan Keluarga

Dua tahun-an yang lalu, anak kedua saya didaftarkan oleh sekolah TK-nya untuk mengikuti sebuah lomba menggambar dan mewarnai di Ragunan.
Salah satu dari orangtuanya juga diikutsertakan, karena ini adalah lomba anak bersama orang tuanya.

Saya pikir, ada yang kurang jelas pada lomba ini, yaitu batasan orang tua bekerjasama dengan sang anak itu sampai mana?
Karena nggak ada info yang jelas, maka saya buat batasan sendiri saja.
Saya yang menggambar, anak saya yang mewarnai. Bagi-bagi tugas.

Menjelang hari H, beberapa persiapan dilakukan.
Gambarnya apa dan warnanya bagaimana, dilatih dan dirundingkan lebih dulu bersama-sama di rumah.
Berasa kagok juga, karena sudah berpuluh-puluh tahun saya nggak membuat gambar dengan level anak TK/SD… hehe…


9 Maret 2013.
Langit agak mendung.
Kami sudah mengambil posisi di arena lomba. Lesehan, di alam terbuka.

Lomba dimulai. 
Saya mulai menggambar. Nggak berapa lama, setelah gambar selesai, maka giliran anak saya yang mewarnai. Sesekali saya membantu mewarnai.
Semua masih berjalan sesuai rencana, sampai tiba-tiba hujan gerimis turun.
Bubarrrrrrrrrr……….  Semua peserta lomba kocar-kacir mencari tempat berteduh.

Di “tempat pengungsian”, gambar tersebut diteruskan untuk diwarnai oleh anak saya, dibantu kakak dan ibunya.
Saya? Berhubung tempat pengungsiannya sempit, saya memantau saja dari kejauhan, sambil payungan. Hehe…

Dikeroyok ber-tiga, gambar pun lebih cepat selesai, dan dikumpulkan.
Menang? Sayangnya, nggak…..
Dapat peringkat pun nggak juga….  L
Padahal, menurut ukuran saya, hasil pekerjaan kami lebih bagus dibanding peserta yang lain.

Yo wis, nggak apa-apalah.
Walau nggak dapat peringkat, saya dapat beberapa pelajaran berharga dari momen ini.

Ngomong-ngomong, apa sih yang digambar dan diwarnai?

Yaaaah.. nggak jauh-jauh deh obyeknya ….  J


Ini adalah gambar hasil latihan.
Gambar saat lomba, yang nggak sempat difoto, lebih bagus lagi.  J

////

Monday, August 3, 2015

Menyemir Ban

Beberapa hari lalu, lantaran beli sampo mobil berhadiah gratis satu sachet kecil semir ban, mendadak saya jadi ingat sesuatu.
Dulu, waktu beli 2 ban baru Achilles dari seorang kaskuser, saya dihadiahi satu kemasan semir ban oleh si agan itu.
Setelah sebentar saya cari-cari, ketemu juga.


Hmm…. Menyemir ban ya? Boleh juga nih….
Sejak empat ban yang dipakai Marzo sekarang dibeli dalam keadaan baru, memang belum pernah disentuh semir.
Toh, cara kerjanya, nggak susah-susah amat. Tinggal ikuti saja petunjuk atau cara pakai yang tertulis di kemasan semir tersebut.

Kemarin sabtu siang menjelang sore, kegiatan menyemir ban ini dikerjakan.


Ban dibersihkan dulu.



Setelah kering, semir di-oles-oles-kan ke ban.
[Berhubung kuas yang ada sudah nggak bagus untuk dipakai, sikat gigi bekas-pun jadi. Hehe…]


Lumayan-lah. Ban jadi kinclong. J
[Saya lupa nih. Sebelum disemir, ban harusnya di-foto dulu. Biar ada perbandingan ‘before-after’].



Malamnya, di bawah temaram lampu teras, baru ketahuan….
Bemper depan dan belakang, yang masih berwarna plastik orisinal, jadi kebanting warna hitamnya.  Haduuuuh… *tepok jidat


////